Minggu, 19 November 2017


Tugas Kebijakan Perundangan Kehutanan                             Medan,  November 2017


MAKALAH PERUNDANG-UNDANGAN KEHUTANAN
Dosen Pengasuh  :
Dr. Agus Purwoko, S.Hut., M.Si
Oleh :
Ruth Debora Manullang
151201070
HUT 3C






Image result for logo usu 













 PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2017


KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEHUTANAN

A.Pengertian  Serta Ruang Lingkup Kebijakan dan Peraturan Perundang- undangan
Kebijakan pembangunan kehutanan di Indonesia diawali pada tahun 1957 yang ditandai dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 64 tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 169) tentang Penyerahan urusan bidang kehutanan kepada Daerah Swatantra Tingkat I.
Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur perilaku dengan tujuan untuk menciptakan tatanilai baru dalam masyarakat. Contoh kebijakan adalah: (1) Undang-Undang, (2) Peraturan Pemerintah, (3) Keppres, (4) Kepmen, (5) Perda, (6) Keputusan Bupati, dan (7) Keputusan Direktur. Setiap kebijakan yang dicontohkan di sini adalah bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh obyek kebijakan. Undang-Undang Republik Indonesia No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, definisi kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1957 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Menurut Nurjana (2005), segera setelah UU tersebut diundangkan, para pemilik modal banyak menanamkan modalnya di Indonesia, paling tidak karena 3 (tiga) daya tarik utama, yaitu:
a.       Dari segi bisnis kesempatan untuk berusaha di Indonesia dipandang sangat menguntungkan, lantaran kekayaan alam Indonesia yang akan dieksploitasi mempunyai prospek pasar yang dibutuhkan masyarakat internasional.
b.      Pemerintah memberikan kemudahan dan fasilitas serta jaminan stabilitas politik dan keamanan bagi investasi modal asing di dalam negeri.
c.       Sumber daya tenaga kerja selain mudah didapatkan juga dikenal murah untuk mengembangkan bisnis maupun industri di Indonesia.

B. Hubungan dan Perbedaan Antara Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan
Menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, peraturan perundang-undangan  adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Sedangkan, mengenai penggunaan istilah “keputusan” dan “peraturan”, menurut buku “Perihal Undang-Undang” karangan Jimly Asshiddiqie (hal. 9), negara sebagai organisasi kekuasaan umum dapat membuat tiga macam keputusan yang mengikat secara hukum bagi subjek-subjek hukum yang terkait dengan keputusan-keputusan itu: Yaitu keputusan-keputusan yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract) biasanya bersifat mengatur (regeling), sedangkan yang bersifat individual dan konkret dapat merupakan keputusan yang bersifat atau berisi penetapan administratif (beschikking) ataupun keputusan yang berupa ‘vonnis’ hakim yang lazimnya disebut dengan istilah putusan. Oleh karena itu menurut Jimly (hal. 10), ada tiga bentuk kegiatan pengambilan keputusan yang dapat dibedakan dengan penggunaan istilah “peraturan”, “keputusan/ketetapan” dan “tetapan”, menurut Jimly istilah-istilah tersebut sebaiknya hanya digunakan untuk:
1.      Istilah “peraturan” digunakan untuk menyebut hasil kegiatan pengaturan yang menghasilkan peraturan (regels).
2.      Istilah “keputusan” atau “ketetapan” digunakan untuk menyebut hasil kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan administratif (beschikkings).
3.      Istilah “tetapan” digunakan untuk menyebut penghakiman atau pengadilan yang menghasilkan putusan (vonnis).

Keputusan (beschikking)
Peraturan (regeling)
Selalu bersifat individual and concrete.
Selalu bersifat general and abstract.
Pengujiannya melalui gugatan  di peradilan tata usaha negara.
Pengujiannya untuk peraturan di bawah undang-undang (judicial review) ke Mahkamah Agung, sedangkan untuk undang-undang diuji ke Mahkamah Konstitusi.
Bersifat sekali-selesai (enmahlig).
Selalu berlaku terus-menerus (dauerhaftig).

C. Permasalahan Dan Isu Seputar Implementasi Kebijakan Kehutanan Di Indonesia
Identifikasi Hambatan Pengukuhan Kawasan Hutan  Di Provinsi Riau
Dalam banyak kasus, negara begitu saja mengingkari legitimasi sistem hak kepemilikan yang ada sebelumnya atas lahan dan sumber daya alam lain berbasis tanah, sehingga negara menetapkan hubungan-hubungan baru dengan sarana-sarana produksi tersebut. Penduduk yang bermukim di hutan atau petani yang bergantung pada hutan lebih dirugikan ketimbang diuntungkan oleh penguasaan sentra listis negara atas hutan cadangan atau perkebunan hutan (Blaikie, 1985 dalam Peluso, 2006). “Hilangnya otonomi relatif dan akses mereka pada hutan menjadi sangat parah manakala negara menggunakan penguasaannya untuk memonopoli eksploitasi sumber daya” (Peluso, 2006). Prosedur pengukuhan kawasan hutan “jalan pintas“, dengan menapikkan fakta keberadaan masyarakat yang sudah ada secara turun-temurun dan memiliki ketergantungan hidup yang tinggi terhadap hutan, jelas sangat berpotensi memendam konflik laten dan massif.  Hasil identifikasi desa di dalam dan sekitar hutan tahun 2009 oleh Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik diperoleh data desa hutan berjumlah 70.429 buah di seluruh wilayah Indonesia, sementara di Provinsi Riau terdapat 1.480 buah desa (Dephut & BPS, 2009). Oleh karena itu seyogianya prosedur seperti itu harus dipandang sebagai cara sementara dalam situasi darurat.  Namun sayangnya setelah situasinya berubah pemerintah belum pernah melakukan perubahan kebijakan yang mendasar terkait penetapan kawasan hutan. Di Provinsi Riau, fakta ini dapat dilihat dari kebijakan alokasi pelepasan kawasan hutan oleh Departemen/ Kementerian Kehutanan. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 173/Kpts-II/1986, kawasan hutan di Provinsi Riau seluas 8.598.757,00 ha, namun setelah diperbaharui pada tahun 2012  menjadi  9.036.835,00 ha seperti pada Tabel 1. Dari HPK seluas 1.769.966,27 ha, selama kurun waktu 37 tahun (1986–2013) telah dikonversi menjadi kawasan penggunaan lain seluas 1.714.431,73 ha.
Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor SK.878/MenhutII/2014 Tentang Kawasan Hutan Provinsi Riau, saat ini Provinsi Riau memiliki kawasan hutan seluas 5,5 juta hektar.  Kawasan hutan yang luas itu sebagiannya dalam kondisi open access dan menjadi arena kompetisi berbagai kepentingan pembangunan sektoral maupun masyarakat, baik legal maupun ilegal (Riausatu.com, 2016; WWFIndonesia, 2013). Maka adanya kepastian status kawasan hutan untuk mencegah kondisi open acces menjadi prasyarat penting bagi terwujudnya tata kelola hutan yang baik (Kartodihardjo, Nugroho, & Putro, 2011; Suwarno et al., 2014).

D. Hierarki Peraturan Perundangan Di Indonesia
Pasal 7 ayat 1 “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan” terdiri atas :
a.            Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia dalam Peraturan Perundang-undangan, memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara. UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
b.            Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Merupakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang MPR atau bentuk putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berisi hal-hal yang bersifat penetapan (beschikking). Pada masa sebelum perubahan (amandemen) UUD 1945, ketetapan MPR merupakan Peraturan Perundangan yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945 dan di atas Undang-Undang.
c.             Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. Perlu diketahui bahwa undang-undang merupakan produk bersama dari presiden dan DPR (produk legislatif), dalam pembentukan undang-undang ini bisa saja presiden yang mengajukan RUU yang akan sah menjadi Undang-undang jika DPR menyetujuinya, dan begitu pula sebaliknya.
e.             Peraturan Presiden (PP)
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
f.             Peraturan Daerah Provinsi
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
Peraturan daerah dan keputusan kepala daerah Negara Indonesia adalah Negara yang menganut asas desentralisasi yang berarti wilayah Indonesia dibagi dalam beberapa daerah otonom dan wilayah administrasi.
g.      Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten atau Kota dengan persetujuan bersama Bupati atau Walikota.
E. Tahapan dan Proses Lahirnya Suatu Kebijakan Publik
1. Penyusunan Agenda
Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. 2.Formulasi kebijakan
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada.
3. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah.
4. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak.
F. Kebijakan Ekonomi Pengusahaan Hutan Di Indonesia
            Maka dengan mengacu pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 pemerintah mulai menata pengaturan hukum pengelolaan hutan. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Menurut Nurjana (2005), segera setelah UU tersebut diundangkan, Untuk mendukung peningkatan penanaman modal asing maupun modal dalam negeri di bidang pengusahaan sumber daya hutan, maka pemerintah membangun instrumen hukum teknis dengan pembentukan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan dan untuk melaksanakan ketentuan mengenai pengusahaan hutan yang mendasari kebijakan pemberian konsesi eksploitasi sumber daya hutan, maka dikeluarkan PP No. 21 Tahun 1970 junto PP No. 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPH dan HPHH).



DAFTAR PUSTAKA

http://septiwidiyanti.blogspot.com/2011/02/dasar-dasar-kebijakan-kehutanan.html Diakses pada tanggal 03 November 2017 pada pukul 10.06.

http://www.dephut.go.id/INFORMASI/RRL/RLPS/mangrove.htm Diakses pada tanggal 03 November 2017 pada pukul 14.13.

http://mukti-aji.blogspot.com/2009/03/kebijakan-pemerintah-untuk-pengelolaan.htmlDiakses pada tanggal 03 November 2017 pada pukul 14.30.

http://fkkehutananmasyarakat.wordpress.com/ Diakses pada tanggal 03 November 2017 pada pukul 16.00.

Suwarno, E dan Wahib, A. 2017. Identifikasi Hambatan Pengukuhan Kawasan Hutan Di Provinsi Riau. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Jakarta. Vol 14 (1) : 17-30.

Akmal. 2011. Dinamika Kebijakan Publik. www.dinamikakebijakanpublik.blogspot.co.id. Jakarta diakses pada tanggal 03 November 2017 pada pukul 16.00.