Tugas Kebijakan Perundangan
Kehutanan Medan, November 2017
MAKALAH PERUNDANG-UNDANGAN KEHUTANAN
Dosen Pengasuh :
Dr. Agus Purwoko, S.Hut., M.Si
Oleh :
Ruth Debora Manullang
151201070
HUT 3C
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2017
KEBIJAKAN DAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN KEHUTANAN
A.Pengertian Serta Ruang Lingkup Kebijakan dan
Peraturan Perundang- undangan
Kebijakan pembangunan kehutanan di
Indonesia diawali pada tahun 1957 yang ditandai dengan keluarnya Peraturan
Pemerintah Nomor 64 tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 169) tentang
Penyerahan urusan bidang kehutanan kepada Daerah Swatantra Tingkat I.
Kebijakan adalah aturan tertulis
yang merupakan keputusan formal organisasi, yang bersifat mengikat, yang
mengatur perilaku dengan tujuan untuk menciptakan tatanilai baru dalam masyarakat.
Contoh kebijakan adalah: (1) Undang-Undang, (2) Peraturan Pemerintah, (3)
Keppres, (4) Kepmen, (5) Perda, (6) Keputusan Bupati, dan (7) Keputusan
Direktur. Setiap kebijakan yang dicontohkan di sini adalah bersifat mengikat
dan wajib dilaksanakan oleh obyek kebijakan. Undang-Undang Republik Indonesia No 41 tahun 1999 tentang
kehutanan, definisi kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut
dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara
terpadu.
Seiring dengan meningkatnya
kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 1
tahun 1957 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 6 tahun 1968
tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Menurut Nurjana (2005), segera setelah UU
tersebut diundangkan, para pemilik modal banyak menanamkan modalnya di
Indonesia, paling tidak karena 3 (tiga) daya tarik utama, yaitu:
a. Dari segi bisnis kesempatan untuk berusaha di Indonesia
dipandang sangat menguntungkan, lantaran kekayaan alam Indonesia yang akan
dieksploitasi mempunyai prospek pasar yang dibutuhkan masyarakat internasional.
b. Pemerintah memberikan kemudahan dan fasilitas serta jaminan
stabilitas politik dan keamanan bagi investasi modal asing di dalam negeri.
c. Sumber daya tenaga kerja selain mudah didapatkan juga
dikenal murah untuk mengembangkan bisnis maupun industri di Indonesia.
B. Hubungan dan Perbedaan Antara
Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan
Menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, peraturan perundang-undangan adalah peraturan
tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur
yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Sedangkan, mengenai penggunaan
istilah “keputusan” dan “peraturan”, menurut buku “Perihal Undang-Undang” karangan Jimly Asshiddiqie (hal. 9),
negara sebagai organisasi kekuasaan umum dapat membuat tiga macam keputusan
yang mengikat secara hukum bagi subjek-subjek hukum yang terkait dengan
keputusan-keputusan itu: Yaitu keputusan-keputusan yang bersifat umum dan
abstrak (general and abstract) biasanya bersifat mengatur (regeling),
sedangkan yang bersifat individual dan konkret dapat merupakan keputusan yang
bersifat atau berisi penetapan administratif (beschikking) ataupun
keputusan yang berupa ‘vonnis’ hakim yang lazimnya disebut dengan
istilah putusan. Oleh
karena itu menurut Jimly (hal. 10), ada tiga bentuk kegiatan pengambilan
keputusan yang dapat dibedakan dengan penggunaan istilah “peraturan”,
“keputusan/ketetapan” dan “tetapan”, menurut Jimly istilah-istilah tersebut
sebaiknya hanya digunakan untuk:
1. Istilah
“peraturan” digunakan untuk menyebut hasil kegiatan pengaturan yang
menghasilkan peraturan (regels).
2. Istilah
“keputusan” atau “ketetapan” digunakan untuk menyebut hasil kegiatan penetapan
atau pengambilan keputusan administratif (beschikkings).
3. Istilah
“tetapan” digunakan untuk menyebut penghakiman atau pengadilan yang
menghasilkan putusan (vonnis).
Keputusan (beschikking)
|
Peraturan (regeling)
|
Selalu bersifat individual and concrete.
|
Selalu bersifat general and abstract.
|
Pengujiannya melalui gugatan di peradilan tata usaha
negara.
|
Pengujiannya untuk peraturan di bawah undang-undang (judicial
review) ke Mahkamah Agung, sedangkan untuk undang-undang diuji ke
Mahkamah Konstitusi.
|
Bersifat sekali-selesai (enmahlig).
|
Selalu berlaku terus-menerus (dauerhaftig).
|
C. Permasalahan Dan Isu Seputar Implementasi Kebijakan
Kehutanan Di Indonesia
Identifikasi Hambatan Pengukuhan
Kawasan Hutan Di Provinsi Riau
Dalam banyak kasus, negara begitu
saja mengingkari legitimasi sistem hak kepemilikan yang ada sebelumnya atas
lahan dan sumber daya alam lain berbasis tanah, sehingga negara menetapkan
hubungan-hubungan baru dengan sarana-sarana produksi tersebut. Penduduk yang
bermukim di hutan atau petani yang bergantung pada hutan lebih dirugikan
ketimbang diuntungkan oleh penguasaan sentra listis negara atas hutan cadangan
atau perkebunan hutan (Blaikie, 1985 dalam Peluso, 2006). “Hilangnya otonomi
relatif dan akses mereka pada hutan menjadi sangat parah manakala negara
menggunakan penguasaannya untuk memonopoli eksploitasi sumber daya” (Peluso,
2006). Prosedur pengukuhan kawasan hutan “jalan pintas“, dengan menapikkan
fakta keberadaan masyarakat yang sudah ada secara turun-temurun dan memiliki
ketergantungan hidup yang tinggi terhadap hutan, jelas sangat berpotensi
memendam konflik laten dan massif. Hasil identifikasi desa di dalam dan
sekitar hutan tahun 2009 oleh Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik diperoleh
data desa hutan berjumlah 70.429 buah di seluruh wilayah Indonesia, sementara
di Provinsi Riau terdapat 1.480 buah desa (Dephut & BPS, 2009). Oleh karena
itu seyogianya prosedur seperti itu harus dipandang sebagai cara sementara
dalam situasi darurat. Namun sayangnya setelah situasinya berubah
pemerintah belum pernah melakukan perubahan kebijakan yang mendasar terkait
penetapan kawasan hutan. Di Provinsi Riau, fakta ini dapat dilihat dari
kebijakan alokasi pelepasan kawasan hutan oleh Departemen/ Kementerian
Kehutanan. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
173/Kpts-II/1986, kawasan hutan di Provinsi Riau seluas 8.598.757,00 ha, namun
setelah diperbaharui pada tahun 2012 menjadi 9.036.835,00 ha
seperti pada Tabel 1. Dari HPK seluas 1.769.966,27 ha, selama kurun waktu 37
tahun (1986–2013) telah dikonversi menjadi kawasan penggunaan lain seluas
1.714.431,73 ha.
Berdasarkan Surat Keputusan (SK)
Menteri Kehutanan Nomor SK.878/MenhutII/2014 Tentang Kawasan Hutan Provinsi
Riau, saat ini Provinsi Riau memiliki kawasan hutan seluas 5,5 juta
hektar. Kawasan hutan yang luas itu sebagiannya dalam kondisi open access
dan menjadi arena kompetisi berbagai kepentingan pembangunan sektoral maupun
masyarakat, baik legal maupun ilegal (Riausatu.com, 2016; WWFIndonesia, 2013).
Maka adanya kepastian status kawasan hutan untuk mencegah kondisi open acces
menjadi prasyarat penting bagi terwujudnya tata kelola hutan yang baik
(Kartodihardjo, Nugroho, & Putro, 2011; Suwarno et al., 2014).
D. Hierarki Peraturan Perundangan Di Indonesia
Pasal 7 ayat 1 “Jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan” terdiri atas :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia dalam Peraturan
Perundang-undangan, memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan
negara. UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Merupakan putusan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam
sidang-sidang MPR atau bentuk putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
berisi hal-hal yang bersifat penetapan (beschikking). Pada masa sebelum
perubahan (amandemen) UUD 1945, ketetapan MPR merupakan Peraturan Perundangan
yang secara hierarki berada di bawah UUD 1945 dan di atas Undang-Undang.
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. Perlu diketahui bahwa undang-undang
merupakan produk bersama dari presiden dan DPR (produk legislatif), dalam
pembentukan undang-undang ini bisa saja presiden yang mengajukan RUU yang akan
sah menjadi Undang-undang jika DPR menyetujuinya, dan begitu pula sebaliknya.
e. Peraturan Presiden (PP)
Peraturan Perundang-undangan yang
ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
f. Peraturan Daerah Provinsi
Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan
bersama Gubernur.
Peraturan daerah dan keputusan
kepala daerah Negara Indonesia adalah Negara yang menganut asas desentralisasi
yang berarti wilayah Indonesia dibagi dalam beberapa daerah otonom dan wilayah
administrasi.
g. Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten atau Kota dengan persetujuan bersama Bupati
atau Walikota.
E. Tahapan dan Proses Lahirnya Suatu Kebijakan Publik
1. Penyusunan Agenda
Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat
strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang
untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. 2.Formulasi
kebijakan
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan.
Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang
terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau
pilihan kebijakan yang ada.
3. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada
proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat
diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah.
4. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang
menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi,
implementasi dan dampak.
F. Kebijakan Ekonomi Pengusahaan Hutan Di Indonesia
Maka dengan mengacu pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
pemerintah mulai menata pengaturan hukum pengelolaan hutan. Seiring dengan
meningkatnya kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang
No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Menurut Nurjana (2005),
segera setelah UU tersebut diundangkan, Untuk mendukung peningkatan penanaman
modal asing maupun modal dalam negeri di bidang pengusahaan sumber daya hutan,
maka pemerintah membangun instrumen hukum teknis dengan pembentukan UU No. 5
Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan dan untuk melaksanakan
ketentuan mengenai pengusahaan hutan yang mendasari kebijakan pemberian konsesi
eksploitasi sumber daya hutan, maka dikeluarkan PP No. 21 Tahun 1970 junto PP
No. 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan
(HPH dan HPHH).
DAFTAR PUSTAKA
http://septiwidiyanti.blogspot.com/2011/02/dasar-dasar-kebijakan-kehutanan.html Diakses pada tanggal 03 November
2017 pada pukul 10.06.
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/RRL/RLPS/mangrove.htm Diakses pada tanggal 03 November
2017 pada pukul 14.13.
http://mukti-aji.blogspot.com/2009/03/kebijakan-pemerintah-untuk-pengelolaan.htmlDiakses pada tanggal 03 November 2017 pada pukul 14.30.
Suwarno, E dan Wahib, A. 2017.
Identifikasi Hambatan Pengukuhan Kawasan Hutan Di Provinsi Riau. Jurnal
Analisis Kebijakan Kehutanan. Jakarta. Vol 14 (1) : 17-30.
Akmal. 2011. Dinamika Kebijakan
Publik. www.dinamikakebijakanpublik.blogspot.co.id. Jakarta diakses pada tanggal 03 November 2017 pada pukul
16.00.